10:34 AM

Obstruksi Usus

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II A. OBSTRUKSI USUS
1. Definisi
2. Etiologi
3. Manifestasi Klinik
4. Patofisiologi
5. Komplikasi
6. Pemeriksaan Diagnostik
7. Penatalaksanaan Medis
8. Proses Keperawatan
B. HERNIA
1. Definisi
2. Etiologi
3. Manifestasi Klinik
4. Patofisiologi
5. Komplikasi
6. Pemeriksaan Diagnostik
7. Penatalaksanaan Medis
8. Proses Keperawatan

BAB III KESIMPULAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pencernaan adalah sebuah proses metabolisme dimana suatu makhluk hidup memproses sebuah zat dalam rangka untuk mengubah secara kimia atau mekanik sesuatu zat menjadi nutrisi. Namun, jika proses ini terjadi perubahan maka akan terjadi gangguan pencernaan termasuk obstruksi usus dan hernia.
Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya normal. (Reeves, 2001).
Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis atau fungsional. (Tucker, 1998). Sedangkan hernia adalah prostusi dari organ melalui organ defektif yang didapat/ kongenital pada dinding rongga yang secara normal berisi organ. (Barbara Engran, 1998).
Oleh karena itu, Kami menulis makalah ini guna agar mahasiswa mengetahui hal-hal mengenai obstruksi usus dan hernia, yang akan dibahas secara lengkap pada bab berikutnya.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan jenis- jenis dari gangguan obstruksi pencernaan.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan:
a. definisi penyakit obstruksi usus dan hernia
b. etiologi penyakit obstruksi usus dan hernia
c. manifestasi klinik penyakit obstruksi usus dan hernia
d. patofisiologi penyakit obstruksi usus dan hernia
e. komplikasi penyakit obstruksi usus dan hernia
f. pemeriksaan diagnostik penyakit obstruksi usus dan hernia
g. penatalaksanaan medis penyakit obstruksi usus dan hernia
h. proses keperawatan penyakit obstruksi usus dan hernia

BAB II
ISI

A. OBSTRUKSI USUS
1. Pengertian
a. Nettina, 2001
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal.
b. Tucker, 1998
Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis atau fungsional
c. Ester, M, 2002:49
Obstruksi usus adalah kerusakan parsial atau komplit aliran isi usus ke arah ke depan. Yang kebanyakan terjadi di usus halus khususnya di ileum.
d. Long B. C, 1996:242
Gangguan yang terjadi ketika terdapat rintangan terhadap aliran normal dari isi usus, bisa juga karena hambatan terhadap rangsangan syaraf untuk terjadinya peristaltik atau karena adanya blokkage pada ileus mekanik/organik.

2. Etiologi
Obstruksi usus dapat disebabkan oleh tiga macam faktor (Ester, M, 2002:49). yaitu :
a. Faktor Mekanis : Suatu penyebab fisik menyumbat usus dab tidak dapat diatasi oleh peristaltik
• Perlekatan atau adhesi yaitu lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen (Brunner & Suddarth, 2002:1121). Pada perlekatan usus halus adhesi pita-pita jaringan ikat mungkin terbentuk dari organ ke organ ke dinding peritoneum sebagai hasil penyembuhan dari peritonitis atau setelah setiap operasi abdominal (Robbins & Kumar, 1995:266).
• Hernia : Protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen
• Volvulus yaitu usus memutar dan kembali kekeadaan, akibatnya lumen usus menjadi tersumbat, menunjukkan adanya pemelintiran (pemutaran) dari saluran usus, kira-kira pada dasar pelekatan mesenterik. Hal ini sering terjadi pada usus halus, tapi saluran sigmoid yang sangat berlebihan munkin dapat terkena. Obstruksi dan infrak sering terjadi pada kasus ini (Robbins dan Kumar, 1995:266).
• Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus
b. Faktor Neurogenik/Fungsional : Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong
• Intususepsi atau invaginasi adalah bagian dari usus menyusup ke dalam bagian lain yang ada di bawahnya akibat penyempitan lumen usus. Pada gangguan ini satu segmen dari usus halus dikerutkan oleh suatu gelombang peristaltik, serta masuk mengalami invaginasi ke dalam segmen distal dari usus tersebut. Sekali terjebak, segmen yang masuk tersebut oleh gerakan peristaltik didorong ke dalam segmen bagian distal, ikut menarik mesenterium dibelakangnya (Robbins dan Kumar, 1995:266).
c. Faktor vaskuler yaitu obstruksi aliran darah yang dapat timbul sebagai akibat dari okulasi komplet (infark mesentrika) atau oklusi proksimal (angina abdominal).

3. Manifestasi Klinik
Mansjoer, A, 2000:318
a. nyeri karena luka atau akibat penumpukan gas
b. mual, muntah karena adanya distensi abdomen dan akumulasi gas dan cairan,
c. konstipasi bisa terjadi karena kurang aktivitas, penurunan gerakan gastrointestinal,
d. retensia urine karena adanya tekanan pada kandung kencing (),

Boughman & Hackley,2000:382
a. dehidrasi mengakibatkan haus yang berlebihan, rasa mengantuk, malaise dan sakit,
b. shock karena dehidrasi atau kehilangan volume plasma.

Long, B.C, 1996:79
Pada manifestasi klinis pasca bedah yaitu terjadi
 konstipasi
 mual
 muntah
 retensi urin
 distensi abdominal
 nyeri karena gas
 nyeri disertai dingin
 nyeri disertai demam.



4. Patofisiologi


5. Komplikasi
a. Peritionitis
b. Syok Hipovolemia

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
b. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang tertutup.
c. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah; peningkatan hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.
d. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolik

7. Penatalaksanaan Medis
a. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
b. Terapi Na+, K+, komponen darah
c. Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan interstisial
d. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
e. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area penyumbatan; selang dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring miring ke kanan.
f. Implementasikan pengobatan unutk syok dan peritonitis.
g. Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein karena obstruksi kronik, ileus paralitik atau infeksi.
h. Reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
i. Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung terlalu beresiko.
j. Kolostomi lingkaran untuk mengalihkan aliran feses dan mendekompresi usus dengan reseksi usus yang dilakukan sebagai prosedur kedua.

8. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pada pengkajian umum dapat terjadi anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rectal/perostomi, peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan, leukositosis (Tucker, 1998:325), menurut Sjamsuhidayat fokus pengkajian post operasi yaitu nyeri tekan jika meluas, mengembangnya distensi perut, adanya perdarahan, suhu badan meningkat, takikardia, perubahan mental (takut, gelisah, somnolen), masa yang nyeri khususnya jika disertai suhu tinggi (Sjamsuhidayat, 1997:843).

b. Diagnosa
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau diforesis.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil
a. Tanda vital normal
b. Masukan dan haluaran seimbang

Intervensi:
a. Pantau tanda vital dan observasi tingkat kesadaran dan gejala syok
b. Pantau cairan parentral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
c. Pantau selang nasointestinal dan alat penghisap rendah dan intermitten. Ukur haluaran drainase setiap 8 jam, observasi isi terhadap warna dan konsistensi
d. Posisikan pasien pada miring kanan; kemudian miring kiri untuk memudahkan pasasse ke dalam usus; jangan memplester selang ke hidung sampai selang pada posisi yang benar
e. Pantau selang terhadap masuknya cairan setiap jam
f. Kateter uretral indwelling dapat dipasang; laporkan haluaran kurang dari 50 ml/jam
g. Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam
h. Pantau elektrolit, Hb dan Ht
i. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
j. Bila pembedahan tidak dilakukan, kolaborasikan pemberian cairan per oral juga dengan mengklem selang usus selama 1 jam dan memberikanjumlah air yang telah diukur atau memberikan cairan setelah selang usus diangkat.

k. Buka selang, bila dipasang, pada waktu khusus seusai pesanan, untuk memperkirakan jumlah absorpsi.
l. Observsi abdomen terhadap ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau kekauan.
m. Auskultasi bising usus, 1 jam setelah makan; laporkan tak adanya bising usus.
n. Cairan sebanyak 2500 ml/hari kecuali dikontraindikasikan.
o. Ukur masukan dan haluaran sampai adekuat.
p. Observasi feses pertama terhadap warna, konsistensi dan jumlah; hindari konstipasi

2. Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.

Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman; jangan menyangga lutut.
b. Kaji lokasi, berat dan tipe nyeri
c. Kaji keefektifan dan pantau terhadap efek samping anlgesik; hindari morfin
d. Berikan periode istirahat terencana.
e. Kaji dan anjurkan melakukan lathan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam.
f. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit.
g. Auskultasi bising usus; perhatikan peningkatan kekauan atau nyeri; berikan enema perlahan bila dipesankan.
h. Mengajarkan tekhnik relaksasi nafas dalam
i. Berikan dan anjurkan tindakan alternatif penghilang nyeri.

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dan atau kekakuan.
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil : pasien menunjukkan kemampuan melakukan latihan pernafasan, pernafasan yang dalam dan perlahan.
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan; observasi terhadap menelan, “pernafasan cepat”
b. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
c. Pantau terapi oksigen atau spirometer insentif
d. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam.
e. Auskultasi dada terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.

4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.
Tujuan : ansietas teratasi
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan mendemonstrasikan keterampilan kooping positif dalam menghadapi ansietas.

Intervensi:
a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu.
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut; berikan penenangan.
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit, tindakan dan prognosis.
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
e. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat.

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Tujuan : Klien menunjukan peningkatan asupan nutrisi
Intervensi:
a. Mengkaji pola makan pasien
b. Menyajikan makanan dalam keadaan hangat dan menarik
c. Memberikan informasi tentang pentingnya nutrisi sesuai diit bubur halus
d. Menjaga kebersihan oral hygiene

HERNIA
A. Definisi
a. Hernia adalah menonjolnya suatu organ atau struktur organ dan tempatnya yang normal malalui sebuah defek kongenital atau yang didapat. (Long, 1996 : 246)
b. Hernia adalah suatu keadaan menonjolnya isi usus suatu rongga melalui lubang (Oswari, 2000 : 216)
c. Hernia adalah penonjolan sebuah organ, jaringan atau struktur melewati dinding rongga yang secara normal memang berisi bagian-bagian tersebut (Nettina, 2001 : 253)
d. Hernia adalah penonjolan peritoneum parietale yang berisi viskus melalui bagian yang lemah pada dinding abdomen. (http://karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38272_ASUHAN-KEPERAWATAN-HERNIA.html)

Pada hernia selalu ada 3 unsur, yaitu:
1. Kantung hernia (peritoneum parietale)
2. Isi (viskus: organ/jaringan yang keluar melalui kantung hernia)
3. Pintu/hernia (locus minorus resisten)
B. Klasifikasi
a. Hernia congenital:
a) Hernia umbilikalis
b) Hernia diafragnatika
c) Hernia inguinalis lateralis
b. Hernia didapat:
a) Hernia inguinalis medialis
b) Hernia femoralis
Secara Klinis:
• Reponibilis: hernia yang masih dapat keluar masuk
• Irreponibilis: Hernia yang sudah tidak dapat masuk, viskus melekat pada kantung dan ada infeksi
• Strangulasi: hernia yang terjadi karena terjepitnya pembuluh dapat tapi masih mendapat nutrisi/ terdapat gangguan vascularisasi
• Incarserata: lumen terjepit sehingga tidak mendapat nutrisi, terjadi parase usus
C. Etiologi:
1. Hernia congenital:
• Processus vaginalis peritoneum persisten
• Testis tidak samapi scrotum, sehingga processus tetap terbuka
• Penurunan baru terjadi 1-2 hari sebelum kelahiran, sehingga processus belum sempat menutupdan pada waktu dilahirkan masih tetap terbuka
• Predileksi tempat: sisi kanan karena testis kanan mengalami desensus setelah kiri terlebih dahulu.
• Dapat timbul pada masa bayi atau sesudah dewasa.
• Hernia indirect pada bayi berhubungan dengan criptocismus dan hidrocele
2. Hernia didapat:
Ada factor predisposisi:
• Kelemahan struktur aponeurosis dan fascia tranversa
• Pada orang tua karena degenerasi/atropi
• Tekanan intra abdomen meningkat
• Pekerjaan mengangkat benda-benda berat
• Batuk kronik
• Gangguan BAB, missal struktur ani, feses keras
• Gangguan BAK, mis: BPH, veskolitiasis
• Sering melahirkan: hernia femoralis
D. Diagnosa
a. Anamnesa
• Timbul benjolan di lipat paha yang hilang timbul
• Penonjolan dapat timbul bila tekanan intra abdomen naik
• Benjolan dapat hilang jika pasien tiduran atau dimasukkan dengan tangan (manual)
• Nyeri
b. Pemeriksaan fisik
Benjolan pada lipat paha atau scrotum dengan batas atas tidak jelas, bising usus (+), transiluminasi (-).
c. Rontgen foto



a. Hernia Inguinalis Medialis
a) Definisi:
Merupakan hernia yang berjalan melalui dinding inguinal belakang, medial dari vasa epigastrika inferior ke daerah yang dibatasi trigonum Hasselbachii.
b) Etiologi
Biasanya tidak ditemukan sebab yang pasti, meskipun kadang dihubungkan dengan angkat berat. Hernia terjadi jika bagian dari organ perut( biasanya usus) menonjol melalui suatu titik yang lemah atau robekan pada dinding otot yang tipis, yang menahan organ perut pada tempatnya.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia, lebih banyak pada pria ketimbang pada wanita. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Disamping itu diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar tersebut.
Faktor yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosessus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan didalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia.
Proses turunnya testis mengikuti prosessus vaginalis. Pada nenonatus kurang lebih 90% prosessus vaginalis tetap terbuka sedangkan pada bayi umur satu tahun sekitar 30 % prosessus vaginalis belum tertutup. Tetapi kejadian hernia pada umur ini hanya beberapa persen. Tidak sampai 10% anak dengan prosessus vaginalis paten menderita hernia. Pada anak dengan hernia unilateral dapat dijumpai prosessus veginalis paten kontralateral lebih dari separo, sedangkan insiden hernia tidak melebihi 20%. Umumnya disimpulkan bahwa adanya prosessus vaginalis yang paten bukan merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia tapi diperlukan faktor lain seperti anulus inguinalis yang cukup besar.
Tekanan intra abdomen yang meniggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.
Insiden hernia meningkat dengan bertambahnya umur mungkin karena meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intra abdomen dan jaringan penunjang berkurang kekuatannya.
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intra abdomen tidak tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal, sebaliknya bila otot dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus kedalam kanalis inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n.ilioinguinalis dan n.iliofemoralis setelah apendektomi. Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum disebut hernia skrotalis.

c) Penatalaksanaan
Prinsipnya untuk mencegah inkarserasi atau strangulasi semua hernia harus direpair, kecuali hernia direc yang kecil.
Konservatif:
• Hanya dilakukan pada keadaan yang masih reponibel.
• Dengan cara mengatasi factor-faktor predisposisi bukan penatalaksanaan yang ideal.
• Pada anak-anak dengan hernia indirect irreponibel diberi terapi konservatif dengan: obat penenang (valium), posisi trandelenburg, dan kompres es.
Operatif:
• Herniotomi: pembebasan kantung hernia samapai pada lehernya, kantung dibuka dan isi hernia dibebaskan,
• Hernioplasti: memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis,
• Herniografi: membuat plasty di abdomen sehingga LMR menjadi kuat.
d) Penanganan pasca opersi:
1. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
2. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
3. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
4. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
5. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan intra abdomen.

e) Komplikasi
• Perlekatan
• H. Irreponibilis
• Terjadinya jepitan menyebabkan isckemi
• Infeksi yang dapat menimbulkan nekrose
• Opstipasi
• H.incarserata

b. Hernia Nukleus Pulposus
a) Definisi:
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002). Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)
b) Patofisiologi:
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma (seperti jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.


c) Manifestasi Klinis:
• Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal
• Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

d) Pemeriksaan Diagnostik
1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang
2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.
Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.
Macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan.
2. Immobilisasi
Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.
3. Traksi
aksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.
4. Meredakan Nyeri
mpres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.

Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.
Intervensi
1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot
a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10
b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang
c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi
d. Bantu pemasangan brace / korset
e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
f. Ajarkan teknik relaksasi
g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.
d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi
e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.
f. Kolaborasi : analgetik
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
a. Kaji tingkat ansietas pasien
b. Berikan informasi yang akurat
c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.
d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.
e. Libatkan keluarga
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan
b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong
c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.
d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.
e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzane C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002
Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
_______2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Ed, III. Jakarta: Media Aeseolapius FKUI
Ester, M. 2000. Keperawatan Medikal Bedah.jakarta: EGC
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III, jilid 2. jakarta: Media Aeseolapius
Robbins & Kumar. 1995. buku Ajar Patologi II, Ed. 4. jakarta: EGC
Sjamsuhidayat. 1997. bahan Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993
Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih Bahasa Setiawan dkk. Ed. 1. jakarta: EGC;2001
Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. jakarta: EGC;1994
Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. 1. Jakarta: Salemba Medika;2001
Ahmad, R.P, K. St, 1997, kamus Kedokteran, Djambatan, Jakarta
Baughman D.C & Hackley, J.C, 2000, Keperawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa Yasmin Asih, Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Ed.VIII, Volume II. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 1998. Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa Yasmin Asih Ed. VI. Jakarta: EGC
______2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, ED. VI. Jakarta: EGC
http://obstruksiusus.blogspot.com/2008_08_01_archieve.html
http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/asuhan-keperawatan-hernia-nukleus-pulposus/
http://www.ilmukeperawatan.com/asuhan_keperawatan_hnp.html

http://karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38272_ASUHAN-KEPERAWATAN-HERNIA.html


0 komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah Mau datang...:D